Sabtu, 20 Agustus 2011

REKONSTRUKSI MUTU GURU

REKONSTRUKSI MUTU GURU
Oleh Nata Margareta*)


Bertepatan dengan perayaan memperingati 17 Agustus 2006, HUT Kemerdekaan RI yang ke-61 tahun, isu penambahan dana pendidikan kembali menghangat karena dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji akan memberikan penambahan dana di bidang pendidikan di antaranya penambahan tunjangan untuk guru. Penambahan anggaran di luar gaji belum juga memenuhi amanat amandemen UUD 1945, dari 20% dari APBN menurut konstitusi baru 10,3% dari total anggaran Rp. 495,9 Triliun. Ini berarti pemerintah kekurangan anggaran pendidikan pada APBN Perubahan sebesar 9,7% yaitu Rp. 47,88 Triliun. Dari catatan penulis bahwa terjadi kenaikan dari tahun anggaran 2005 lalu sebesar 1,2% yaitu dari 9,1% kini menjadi 10,3%.  
Pidato presiden tersebut disambut dengan berbagai ragam ada yang gembira, ada juga yang sinis karena di sana mencuat berbagai kepentingan. Sebagai solusi lebih baik dipertimbangkan untuk memerhatikan dana pendidikan secara keseluruhan dari pada sekedar memberikan penambahan tunjangan guru semata tanpa diimbangi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Prioritas perbaikan mutu pendidikan oleh pemerintah seharusnya mengena langsung pada guru sebagai pelaksana langsung di lapangan. Guru adalah dayung bagi sampan pendidikan nasional.
Peningkatan mutu merupakan salah satu prioritas pendidikan di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di antara usaha itu ialah peningkatan mutu guru yang dilakukan melalui penataran jangka pendek dan pendidikan penjenjangan setara D-3 untuk guru SD, S-1 untuk guru SLTP dan SLTA.
Pemerintah hendaknya memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peningkatan pendidikan guru, mengingat jumlah guru yang belum layak mengajar masih relatif tinggi. Bagaimana mungkin seorang guru dapat bekerja optimal bila kualifikasi guru tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan, yang akhirnya menimbulkan dampak yaitu terjadinya inefisiensi dan inkompetensi guru.
Apa jalan keluar dari inefisiensi dan inkompetensi guru ini? Pertama, program penyetaraan untuk meningkatkan kualifikasi guru. Program ini diprioritaskan untuk guru SD hingga setara D-3 dan SLTP dan SLTA hingga setara S-1. Program lain yang perlu dipertimbangkan untuk dilaksanakan agar guru makin bermutu adalah mengikuti ujian sertifikasi/kompetensi yang menurut M. Surya bahwa pertimbangan uji sertifikasi pendidikan yaitu pendidikan yang dimiliki guru, pengalaman yang diperoleh, keahlian, tempat tugasnya, jenjang pendidikan, satuan pendidikan, dan lokasi. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa pertimbangan utama perlakukan uji sertifikasi adalah kompetensi dan kualitas guru yang dimiliki Indonesia masih kurang, temuan Depdiknas menyebutkan lebih dari 40% guru yang ada belum kompeten dan hanya 30% (900 ribu) guru yang telah menempuh jenjang D-4 atau S-1 (Pontianak Post, 21/8).
Program penyetaraan dan sertifikasi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Anggaran dapat berasal dari APBN 40%, APBD Propinsi 20%, APBD Kota/Kabupaten 30%, dari swadaya guru yang mengikuti penyetaran sebesar 10%. Tidak hanya untuk guru-guru yang mengajar di sekolah negeri saja, tetapi siapa saja yang telah memenuhi kualifikasi tes untuk mengikuti program penyetaraan guru lanjutan.
Kedua, untuk peningkatan kemampuan guru yang sifatnya khusus, dilakukan penataran-penataran dalam setiap tahunnya. Namun menurut penulis bahwa penataran terhadap materi dan metode penataran perlu dikaji ulang agar mempunyai dampak yang nyata terhadap peningkatan kemampuan guru pada saat yang sama dapat dilakukan pemetaan kembali jenis-jenis penataran dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensinya. Penataran guru-guru yang ada sekarang ini perlu diperbaharui yaitu panataran yang bersifat button up bukan top down.
Penataran dapat berupa memurnikan etos mengajar guru, untuk apa mereka mengajar, pemberdayaan kesejahteraan guru, misalnya menyisirkan Rp. 300.000,- perbulan akan membuat guru menjadi kaya ketika 20 tahun mengajar, yaitu Rp. 300.000,- X 12 bulan X 20 tahun X 9% bunga, maka guru sudah memiliki tabungan sebesar Rp. 78.480.000,-
Ketiga, pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru melalui wadah KKG/PKG (kelompok kerja guru/Pemantapan Kerja Guru) dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) yang berada di beberapa daerah dikombinasikan dengan sistem gugus. Melalui wadah ini para guru diarahkan untuk dapat berbagi pengalaman mengenai cara mengajar dan materi ajar. Apa yang guru peroleh dari kelompok tersebut kemudian diterapkan di kelas. Pembinaan seperti ini cukup efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru.
Lainnya, agar guru menjadi profesional, yaitu mengubah paradigma guru dari teaching (pengajar) menjadi learning (pembelajar), karena dengan menjadi pembelajar guru mempunyai kesempatan dan makin percaya diri dalam memberdayakan dirinya dan lingkungan belajarnya dan tentu juga muridnya. Menjadi pembelajar juga berakibat pada perbaikan terus-menerus (countinous improverment) bagi diri guru bersangkutan agar ilmu pengetahuannya makin bertambah dan berdayalah guru tersebut. Jika paradigma sudah berubah maka yang lainnya akan mengikuti dengan sendirinya.
Akhirnya, bahwa lebih bijaksana bila pemerintah bukan hanya berusaha meningkatkan mutu dari kondisi yang ada, melainkan sekaligus melakukan langkah-langkah remediasi untuk menutupi kelemahan awal yang dimiliki para guru. Makin rendah mutu guru yang masuk ke lingkungan pendidikan, maka harus semakin intensif langkah-langkah remediasi yang dilakukan melalui pelatihan dalam jabatan.


*) Penulis,
Dosen Widya Dharma
Guru SMKN I SUNGAI KUNYIT, MEMPAWAH,
SMP/SMA Imannuel Pontianak
Kalimantan Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar