Sabtu, 20 Agustus 2011

Bahasa Identitas Bangsa

BAHASA ADALAH IDENTITAS BANGSA
Oleh Nata Margareta*)


Tujuh puluh delapan tahun kita telah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa.  Sebagai rasa syukur masyarakat memperingati bulan bahasa dengan berbagai kegiatan di antarannya perlombaan-perlombaan untuk mengingat atau kilas balik perjuangan bangsa Indonesia dalam mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara Indonesia.
Untuk mengenang jasa-jasa pejuang pemuda 1928, Oktober dijadikan sebagai Bulan Bahasa. Menurut Amal (2003) bahwa penyusun Sumpah Pemuda sendiri sedemikian menghargai bahasa — yang mewakili kebudayaan — sehingga tidak langsung dipukul rata sebagai, “satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.” Khusus untuk bahasa, disebut sebagai menjunjung. Jadi sekalipun kita sudah bertanah air dan berbangsa yang satu, kebudayaan kita di dalamnya, termasuk bahasa, masih menyimpan beragam jenis. Namun demikian bahasa nasional tetap dijunjung karena dengan begitulah orang banyak tersebut dapat berkomunikasi satu dengan yang lain.
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia, sebagaimana tersirat dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928 dan disebut bahasa negara, sebagaimana dinyatakan dalam UUD RI 1945 pasal 36, yang dari sudut struktur bahasanya merupakan ragam Melayu. Bahasa Indonesia digunakan bukan hanya sebagai alat komunikasi antarinvidu semata, namum Bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan kebanggaan kita sebagai Bangsa Indonesia karena telah ambil andil melestarikan budaya bangsa.
Namun kenyataan di masyarakat masih terdapat penggunaan bahasa nasional yang diselewengkan seenaknya. Penggunaan bahasa Indonesia dalam beberapa papan iklan atau selebaran, maupun percakapan sehari-hari seringkali dicampuradukan dengan bahasa Inggris.
Selain itu kecenderungan masyarakat mengangap bahwa Bahasa Indonesia hanya sebagai bahasa sekunder (pendukung), di mana setiap orang pasti bisa berbahasa Indonesia menimbulkan kesan bahwa Bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari secara mendalam. Jika seseorang sudah tahu berbicara Bahasa Indonesia sudah dapat dikatakan mahir berbahasa Indonesia, padahal sebenarnya seseorang baru dapat disebut mahir berbahasa Indonesia jika menguasai tata cara  dalam berbahasa. Berbeda dengan bahasa asing seperti Inggris, masyarakat mengangap bahwa Bahasa Inggris  sebagai  bahasa primer (utama ) yang perlu dikuasai anak pada masa kini sebagai modal dasar untuk menghadapi zaman  globalisasi
Zaman globalisasi adalah zaman yang menuntut adanya persaingan kerja yang tinggi. Masyarakat yang berpotensi di bidang bahasa terutama Bahasa Inggris, memiliki keterampilan dan keahlian akan lebih mudah mendapat pekerjaan yang layak. Oleh sebab itu muncul anggapan bahwa bahasa yang paling Krusial  untuk dipelajari adalah bahasa Inggris. Masyarakat cenderung berbicara menggunakan bahasa Inggris pada setiap situasi, sebagai alasan agar cepat pandai berbahasa inggris, pencampuradukan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris pun tidak dapat dihindari. Padahal hal tersebut sudah menyalahi hakikat bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai inventarisasi unsur-unsur kebudayaan. Belajar dari negara tetangga yaitu Malaysia karena penggunaan bahasa Inggris yang selalu dicampuradukan dengan bahasa Melayu menyebabkan terjadinya penyerapan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, sampai saat sekarang hal tersebut sudah menjadi kebiasaan. Lama-kelamaan berakibat pada punahnya bahasa Melayu tersebut. Tentunya hal tersebut tidak kita inginkan selaku bangsa Indonesia yang masih memiliki kebudayaan asli.
 Penulis mengutip pendapat  Nababan (1986), yang mengatakan bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan bangsa melalui bahasa seseorang dapat mempelajari kebudayaan. Kebiasaan mencampuradukan bahasa Indonesia dengan  bahasa Inggris dalam berbicara pada situasi formal seperti rapat, seminar, symposium atau  musyawarah menjadi tren pada masa kini, dikhawatirkan menimbulkan varian bahasa yang berefek pada “Kebingungan” atau ketidakpastian makna kata yang diserap tersebut.
Bahasa Inggris tidak selamanya sesuai digunakan pada setiap situasi pembicaraan di Indonesia sebagai contoh, kalau dalam keadaan bahasa dan budaya Indonesia orang mengatakan kepada kita, “Kemejanya bagus”, pada umumnya kita akan “Menolak” pujian itu dengan mengatakan, umpamanya, oh, itu murah sekali”. Atau  “Ah, ini sudah lama saya pakai. Sedangkan dalam budaya barat, misalnya budaya Amerika jika pertanyaanya “That is  a nice shirt (you have on)”, jawabannya yang wajar ialah, “Thanks you” (terima kasih).


 Hal ini menunjukkan bahwa bahasa adalah salah satu bagian atau subsistem kebudayaan, maka tindak laku berbahasa pun mengikuti norma-norma kebudayaan induknya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya tata cara dalam berbahasa  yaitu dengan (1) mengatur apa yang sebaiknya kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu. (2) mengatur ragam bahasa apa yang sewajarnya kita pakai dalam situasi sosiolingustik tertentu (penutur bahasa sebagai anggota masyarakat). (3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang lain. (4) Kapan kita harus diam dam kapan harus berbicara. (5) menghindari penyerapan bahasa asing secara illegal. (6) tidak mencampuradukan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. 
Dengan demikian seseorang baru dapat dikatakan mahir berbahasa Indonesia, jika sudah dapat menerapkan tata cara berbahasa tersebut karena bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang erat sekali bisa diandaikan seperti hubungan ayam dengan telur. Kebudayaan dimungkinkan ada karena adanya bahasa.


*) Penulis,
Dosen Widya Darma
Guru Bahasa Indonesia
SMA St. F. Assisi/Immanuel Pontianak
Kalimantan Barat

Data Penulis :
Nata Margareta, S.Pd.
Nomor KTP : 14.5004.251280.0002
Alamat Kantor : Jl Selat Sumba III,
P.O.Box 6199
, Siantan, Pontianak Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar