KEMERDEKAAN KAUM WANITA
Oleh Nata Margareta*
Enam puluh dua tahun bangsa Indonesia merdeka, perjuangan para pahlawan mengusir penjajahan di Negara kita telah menelan banyak kerugian baik jiwa, harta, dan mental bangsa. Tahun demi tahun terlewati usia 62 tahun bukanlah usia yang muda, sudah bisa dikatakan masa-masa Negara menuju kedewasaan diri baik dari segi materi maupun kesejahteraan bangsa.
Kemerdekaan yang dihadiahkan oleh para pejuang kita sudahkah dipergunakan sebagaimana mestinya seperti yang terkandung di dalam amanat pembukaan UUD 1945 alinea 2 yaitu tersirat prioritas untuk berkehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur?.
Enam puluh dua tahun usia kemerdekaan sepertinya belum mampu memberikan kepada rakyatnya makna yang hakiki dari sebuah kemerdekaan. Perampasan hak-hak kemerdekaan pendidikan, politik, kesejahteraan, kesehatan, agama dan keadilan. Sudah menjadi hal yang biasa. Terlihat semakin tingginya intensitas penidasan terhadap hak-hak asasi, pengebirian kebebasan, dan sebagainya.
Kemerdekaan yang sudah kita terima Apakah benar-benar sudah dirasakan sepenuhnya? makna kemerdekaan bisa dikatakan belum menyentuh semua kalangan terutama kaum wanita. Ibu Ningsih yang berusia 48 tahun adalah satu contoh di antara jutaan kaum wanita yang berjuang melawan kemiskinan dan kemelaratan. Ketika fajar mulai menyingsing segera ibu Ningsih bergegas menggendong bakul keranjang yang berisi sayur-manyur menjajakan berkeliling dengan berjalan kaki. Tak banyak harapan yang tergambar dalam dirinya. Kegelisahan untuk kehidupan hari esok ”Apakah Esok Hari Saya Bisa Makan?” terus menjadi prioritas hidupnya.
Kesempatan memperoleh penghidupan yang layak jauh dari kenyataan, Kesempatan bagi anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan tak terpikirkan. Hanya meratapi nasib, itu jawaban yang terlintas dalam diri ibu Ningsih. Makna kemerdekaan hanya sebatas kenangan akan nasib diri pribadi.
Sudahkah kaum wanita merdeka memperoleh pekerjaan? Banyaknya tenaga kerja wanita di luar negeri, yang dipekerjakan dengan tidak layak seperti bekerja sebagai pengantin pesanan, wanita tuna susila, dan pembantu rumah tangga. Tercatat 44 kasus wanita mengalami pelecehan seksual dan kekerasan fisik. Perdagangan manusia sebanyak 1.231 orang, 80,89% berasal dari Kalbar dan 19,10% berasal dari luar Kalbar (CIBA-LBH PIK, Juli 2007). Kemerdekaan memperoleh pekerjaan layak masih sulit dijangkau menyebabkan para wanita rela mengorbankan keluarga untuk bekerja menjadi TKI. ”Penyakit Sosial” menjadi catatan utama bagi bangsa Indonesia untuk menghayati arti kemerdekaan.
Sudahkan kaum wanita merdeka berpendapat? Keinginan wanita Indonesia untuk merdeka berpendapat belum sepenuhnya mendapat respon positif, satu contoh (kurangnya respon pemerintah terhadap aspirasi kaum wanita yang menyuarakan adanya kecurangan ujian nasional di Medan, mengakibatkan wanita dari komunitas air mata guru kehilangan pekerjaan). Sudahkan wanita merdeka memperoleh pendidikan? Biaya pendidikan yang tak terjangkau dan tidak adanya pemerataan pemerolehan pendidikan berimplikasi sulitnya mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya karena terkendala faktor ekonomi dan stigma budaya.
Belum habis Persoalan bangsa, yang dirasakan kaum wanita, bencana tsunami di NAD, para wanita di Klaten harus meminta belas kasihan menjadi peminta-peminta di jalanan karena lambatnya bantuan dari pemerintah, pada saat gempa di Yogjakarta – Jateng para wanita menangis meratapi rumahnya yang tertelan bumi, ditambah lagi karena kelalaian manusia lumpur Lapindo di Sidoharjo menambah penderitaan kaum wanita.
Peristiwa-peristiwa yang dialami bangsa seperti tarian Caka Lele, pengibaran bendera di Ambon, pengibaran bendera RMS di Maluku, pengibaran bintang Kejora di Ambon dan keinginan sebagian masyarakat NAD mendirikan partai GAM, berakar dari kontrak politik dan cita-cita bangsa Indonesia setelah Proklamasi yang menjadi prasasti kehendak bersama segenap warga bangsa Indonesia belum dapat diwujudkan. Kejadian ini membelenggu kebebasan para wanita dalam mendidik anak-anak bangsa dan kebebasan menunjukkan eksistensi diri kaum wanita.
Di tengah pergolakan masalah bangsa, hal mendasar memaknai kemerdekaan bagi kaum wanita adalah memaksimalkan diri dan menjadikan visi hidup sebagai pondasi yang kokoh untuk membangun masa depan hidup menjadi lebih baik sesuai dengan hakikat ajaran agama.
Siapa saja yang memimpin tentunya punya peluang untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia terutama hak-hak wanita, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebebasan untuk menindak pelaku korupsi kolusi, nepotisme, monopoli, penyalahgunaan sumber daya alam, penyalahgunaan jabatan, penindasan masyarakat, pelaku ketidakadilan dan pelaku perebutan kekuasaan demi kepentingan pribadi, merupakan makna kemerdekaan yang sesunggunya. Merdeka........Merdeka........Merdeka. Inilah kalimat yang diteriaki oleh para pejuang dan seluruh bangsa Indonesia 62 tahun yang silam. Tentunya kalimat ini pula yang menjadi semangat bagi kaum wanita untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan pada saat sekarang.
*) Penulis
Dosen Widya Darma,
Guru SMKN I SUNGAI KUNYIT, MEMPAWAH,
SMA Imannuel Pontianak Kalimantan Barat
Data Penulis :
Nata Margareta, S.Pd.
Nomor KTP : 14.5004.251280.0002
Alamat Kantor : Jl Selat Sumba III, P.O.Box 6199, Siantan, Pontianak Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar